Naluriah
Para Miskiner
Oleh: Ade Batari
Man,
namanya. Man Lokak, gelarnya. Seorang lelaki energik yang tak ingin kalah oleh waktu
dan usia. Lokak, sebuah istilah untuk menyatakan kesempatan atau peluang.
Itulah yang Man cari setiap hari di pasar. Ia mencari peluang. Peluang agar
bisa berjalan di seluk-beluknya hari biar tak dilahap perubahan zaman.
Setiap
pagi usai Shubuh ditegakkan lelaki berkulit legam itu mendorong laju gerobaknya
ke pasar, tempat bertemunya penjual dan pembeli itu. Gerobak itu digunakan
untuk mengangkut barang-barang pembeli, barang pedagang juga barang agen yang
biasa menggunakan jasanya.
Otot-ototnya
menjembul digenangi keringat, ikut basah pula bajunya yang tanpa lengan, kumal
dan bolong-bolong, setiap ia bergerak hilir-mudik membawa barang-barang yang
memenuhi isi gerobaknya.
Matahari
melirik sejenak melepas lelah, angin mendayu-dayu mengabarkan hari ini indah,
cerah dan penuh barokah. Man Lokak mengibas-ngibaskan sobekkan kardus ke
tubuhnya, sesekali menyeka keringat yang terus menukik turun lalu tumpah ke
tanah.
“Kosuful!”
pesannya ke Yuk Yati dengan mengacungkan telunjuk ke langit diiringi seulas
senyum.
Yuk
Yati menyelesaikan mencuci piring. Dituangnya kopi, susu dan air panas ke dalam
gelas. Harumnya menyembul memenuhi rongga-rongga para pengopi, nikmat tak
terbilang. Kopi, suguhan pelepas penat dan penggoyang stamina itu tak pernah
absen dari keseharian Man Lokak pun kawan-kawan seangkatannya sesama pekerja
kasar. Sarapan-ngopi, makan siang-ngopi, usai makan malam-ngopi, duduk di
beranda-ngopi, kumpul dengan sejawat-ngopi, latihan Kompangan-ngopi, ngopi dan
ngopi. Ngopi itu buat hidup lebih hidup. Kata Man Lokak ketika ditanya kenapa
ngopinya lebih teratur daripada merokok. Sedang rokok itu penyedap rasa hidup,
sambungnya.
Sedang
asik menyeduh kopi, ia merasa sepi. Dipanggilanya salah satu kawan yang sedang
asik mengisi karungnya dengan berbagai sampah organik yang ia temukan.
“Satu
Kosuful,” katanya lagi “Untuk seorang pekerja keras ini.” Tunjuknya dengan
bangga sembari menepuk pundak si kawan.
Diajaknya
bercerita apa saja kawannya itu, sesekali mereka tertawa terbahak-bahak,
sesekali memasang muka serius, prihatin, dan sesekali diam menikmati seduhan
kopi.
Dilihatnya
seorang tetangga sedang berjalan bersama cucunya membawa beberapa barang
belanjaan. Ia panggil juga. Disalaminya dan diajaknya pula duduk, dipintanya
segelas kopi lagi untuk tetangganya itu. Kini mereka bertiga, beragam pula
roman wajah yang ditampilkan pada ketiganya saat cerita silih berganti
dikisahkan. Entah itu masalah politik, sosial, ekonomi, cultural-budaya, atau
masalah kriminal. Mereka saling share
satu dengan yang lain. Yuk Yati yang mendengar obrolan mereka, ikut tertawa
jika cerita mereka lucu, ikut komentar seperlunya saja jika ia dimintai pendapat.
Kedua
teman Man pamit. Man membayar pesanannya dengan uang yang didapat pagi tadi.
Demi dilihatnya uangnya hanya selembar sepuluh ribu, ia tersenyum pada Yuk
Yati.
“Sisanya
hutang.” Katanya. Man melenggang meninggalkan Yuk Yati yang sibuk mengaduk nasi
goreng.
Hutang-piutang
adalah hal yang wajar bagi Yuk Yati, bagi Man juga bagi masyarakat pada umunya.
Itulah bentuk sosialidaritas manusia, sama-sama saling melengkapi satu dengan
yang lain. Yuk Yati pun paham akan kondisi keuangan Man Lokak, sebab mereka
tinggal di satu perkampungan Para Miskiner, begitu mereka menamai pergumulan mereka.
Mereka sama-sama beratap di bawah jembatan, sama-sama memiliki tempat tinggal
rumah sepetak yang sederhana dan harta yang pas-pasan. Tapi tak sekalipun
mereka menjatuhkan satu dengan yang lain. Mereka hidup rukun dan damai walau
hidup ini keras buat kaum mereka. Hidup itu tetap indah, kaya ataupun miskin,
beruang ataupun melarat, sebab keindahan tempatnya di hati. Rasa syukur yang
mereka milikilah yang membuat sulit itu terasa mudah.
Man
meneruskan kegiatannya berleha-leha di pasar mencari lokak. Jika hari beranjak
siang profesinya akan berganti jadi tukang parut kelapa, selepas Dzuhur ia jadi
tukang ojek, siang menjelang sore ia membantu menggiling bumbu masakan, sorenya
ia pulang bersama gerobaknya. Hidupnya yang santai dan pendapatannya yang
relative standar itu baginya sudah lebih dari cukup, buktinya ia masih bisa
mengajak teman-temannya minum secangkir kopi, masih bisa membawa pulang
oleh-oleh untuk anak dan istrinya, masih bisa menabung untuk biaya yang tak terduga
dan masih bisa menyekolahkan ketiga anaknya.
Pernah
suatu waktu rezeki tersendat entah di mana. Seharian Man di pasar belum juga
dapat panggilan kerja, entah itu memikul barang atau marut kelapa atau
pekerjaan lainnya yang biasa ia lakukan. Menjelang sore seorang ibu muda
memerlukan jasanya mengangkut barang belanjaan ke parkiran. Tapi, naas bagi si
ibu naas pula bagi si Man Lokak. Usai mengangkut semua barang dengan tiga kali
trip bolak-balik pasar ke terminal, dompet si ibu hilang. Satu jam ia
mencari-cari di dekat motor miliknya hingga mengitari pasar mengikuti jalur
perjalanan yang dilewati. Tapi dompet itu tak lagi bisa ditemukan. Di
dalamnyalah semua uang sisa belanja dan surat-surat penting. Ibu muda linglung,
ia tak sempat pula mengucap terima kasih kepada Man malah langsung pergi.
Seharian itu Man gigit jari dan pulang seperti biasa. Apa yang dialaminya hari itu
adalah hal yang wajar baginya, Man tak mengeluh, tak putus asa dan tak
marah-marah. Ia berusaha untuk lapang dada karena menganggap cobaan si ibu mudalah
yang lebih berat darinya. Di pertengahan jalan hendak pulang, Man dipanggil
oleh penjual buah untuk mengangkat barang ke tokonya. Usai bekerja ia diberi
upah yang lumayan dan sekantong buah segar dari pedagang. Ia bersyukur dan
percaya bahwa Allah Maha Pemurah. Sebab itu, ia tak sekalipun ragu akan hari
ini dan hari esok juga hari yang akan datang. Sampai di rumah pun Man mendapati
aneka lauk-pauk di meja makan, sedekah dari tetangganya yang sedang hajatan.
Man,
lelaki sederhana itu menggaruk kepalanya yang memang gatal, barangkali karena
mandi yang tak bersih atau air yang digunakan tak pernah steril. Ia lagi
ditimpa musibah. Usai sarapan ia dipintai tolong mengangkut cabai giling, cabai
itu tumpah saat diangkat dan hanya separuh yang bisa diselamatkan. Uangnya yang
sepuluh ribu tadi sudah habis untuk sarapan, dan ia harus ganti rugi akan
kelalaiannya.
Sedang
bingung sendiri, tetangga dan temannya sesama kuli kasar juga Yuk Yati
menghampiri Man. Mereka memberikan sejumlah uang sesuai dengan jumlah ganti
rugi yang harus ia keluarkan. Man begitu terharu dan berterima kasih. Ia tahu
bahwa dia dan teman-temannya miskin, tapi mereka tak miskin hati. Orang miskin
pun bisa beramal baik, jika tak bisa memberi dengan harta, dengan perhatian dan
doa pun sudah lebih dari cukup.
Man
melenggang meninggalkan temannya, ia bergegas menunaikan tanggung jawab.