Label

Sabtu, 12 Januari 2013

Naluriah Para Miskiner


Naluriah Para Miskiner
Oleh: Ade Batari


Man, namanya. Man Lokak, gelarnya. Seorang lelaki energik yang tak ingin kalah oleh waktu dan usia. Lokak, sebuah istilah untuk menyatakan kesempatan atau peluang. Itulah yang Man cari setiap hari di pasar. Ia mencari peluang. Peluang agar bisa berjalan di seluk-beluknya hari biar tak dilahap perubahan zaman.
Setiap pagi usai Shubuh ditegakkan lelaki berkulit legam itu mendorong laju gerobaknya ke pasar, tempat bertemunya penjual dan pembeli itu. Gerobak itu digunakan untuk mengangkut barang-barang pembeli, barang pedagang juga barang agen yang biasa menggunakan jasanya.
Otot-ototnya menjembul digenangi keringat, ikut basah pula bajunya yang tanpa lengan, kumal dan bolong-bolong, setiap ia bergerak hilir-mudik membawa barang-barang yang memenuhi isi gerobaknya.
Matahari melirik sejenak melepas lelah, angin mendayu-dayu mengabarkan hari ini indah, cerah dan penuh barokah. Man Lokak mengibas-ngibaskan sobekkan kardus ke tubuhnya, sesekali menyeka keringat yang terus menukik turun lalu tumpah ke tanah.
“Kosuful!” pesannya ke Yuk Yati dengan mengacungkan telunjuk ke langit diiringi seulas senyum.
Yuk Yati menyelesaikan mencuci piring. Dituangnya kopi, susu dan air panas ke dalam gelas. Harumnya menyembul memenuhi rongga-rongga para pengopi, nikmat tak terbilang. Kopi, suguhan pelepas penat dan penggoyang stamina itu tak pernah absen dari keseharian Man Lokak pun kawan-kawan seangkatannya sesama pekerja kasar. Sarapan-ngopi, makan siang-ngopi, usai makan malam-ngopi, duduk di beranda-ngopi, kumpul dengan sejawat-ngopi, latihan Kompangan-ngopi, ngopi dan ngopi. Ngopi itu buat hidup lebih hidup. Kata Man Lokak ketika ditanya kenapa ngopinya lebih teratur daripada merokok. Sedang rokok itu penyedap rasa hidup, sambungnya.
Sedang asik menyeduh kopi, ia merasa sepi. Dipanggilanya salah satu kawan yang sedang asik mengisi karungnya dengan berbagai sampah organik yang ia temukan.
“Satu Kosuful,” katanya lagi “Untuk seorang pekerja keras ini.” Tunjuknya dengan bangga sembari menepuk pundak si kawan.
Diajaknya bercerita apa saja kawannya itu, sesekali mereka tertawa terbahak-bahak, sesekali memasang muka serius, prihatin, dan sesekali diam menikmati seduhan kopi.
Dilihatnya seorang tetangga sedang berjalan bersama cucunya membawa beberapa barang belanjaan. Ia panggil juga. Disalaminya dan diajaknya pula duduk, dipintanya segelas kopi lagi untuk tetangganya itu. Kini mereka bertiga, beragam pula roman wajah yang ditampilkan pada ketiganya saat cerita silih berganti dikisahkan. Entah itu masalah politik, sosial, ekonomi, cultural-budaya, atau masalah kriminal. Mereka saling share satu dengan yang lain. Yuk Yati yang mendengar obrolan mereka, ikut tertawa jika cerita mereka lucu, ikut komentar seperlunya saja jika ia dimintai pendapat.
Kedua teman Man pamit. Man membayar pesanannya dengan uang yang didapat pagi tadi. Demi dilihatnya uangnya hanya selembar sepuluh ribu, ia tersenyum pada Yuk Yati.
“Sisanya hutang.” Katanya. Man melenggang meninggalkan Yuk Yati yang sibuk mengaduk nasi goreng.
Hutang-piutang adalah hal yang wajar bagi Yuk Yati, bagi Man juga bagi masyarakat pada umunya. Itulah bentuk sosialidaritas manusia, sama-sama saling melengkapi satu dengan yang lain. Yuk Yati pun paham akan kondisi keuangan Man Lokak, sebab mereka tinggal di satu perkampungan Para Miskiner, begitu mereka menamai pergumulan mereka. Mereka sama-sama beratap di bawah jembatan, sama-sama memiliki tempat tinggal rumah sepetak yang sederhana dan harta yang pas-pasan. Tapi tak sekalipun mereka menjatuhkan satu dengan yang lain. Mereka hidup rukun dan damai walau hidup ini keras buat kaum mereka. Hidup itu tetap indah, kaya ataupun miskin, beruang ataupun melarat, sebab keindahan tempatnya di hati. Rasa syukur yang mereka milikilah yang membuat sulit itu terasa mudah.
Man meneruskan kegiatannya berleha-leha di pasar mencari lokak. Jika hari beranjak siang profesinya akan berganti jadi tukang parut kelapa, selepas Dzuhur ia jadi tukang ojek, siang menjelang sore ia membantu menggiling bumbu masakan, sorenya ia pulang bersama gerobaknya. Hidupnya yang santai dan pendapatannya yang relative standar itu baginya sudah lebih dari cukup, buktinya ia masih bisa mengajak teman-temannya minum secangkir kopi, masih bisa membawa pulang oleh-oleh untuk anak dan istrinya, masih bisa menabung untuk biaya yang tak terduga dan masih bisa menyekolahkan ketiga anaknya.
Pernah suatu waktu rezeki tersendat entah di mana. Seharian Man di pasar belum juga dapat panggilan kerja, entah itu memikul barang atau marut kelapa atau pekerjaan lainnya yang biasa ia lakukan. Menjelang sore seorang ibu muda memerlukan jasanya mengangkut barang belanjaan ke parkiran. Tapi, naas bagi si ibu naas pula bagi si Man Lokak. Usai mengangkut semua barang dengan tiga kali trip bolak-balik pasar ke terminal, dompet si ibu hilang. Satu jam ia mencari-cari di dekat motor miliknya hingga mengitari pasar mengikuti jalur perjalanan yang dilewati. Tapi dompet itu tak lagi bisa ditemukan. Di dalamnyalah semua uang sisa belanja dan surat-surat penting. Ibu muda linglung, ia tak sempat pula mengucap terima kasih kepada Man malah langsung pergi. Seharian itu Man gigit jari dan pulang seperti biasa. Apa yang dialaminya hari itu adalah hal yang wajar baginya, Man tak mengeluh, tak putus asa dan tak marah-marah. Ia berusaha untuk lapang dada karena menganggap cobaan si ibu mudalah yang lebih berat darinya. Di pertengahan jalan hendak pulang, Man dipanggil oleh penjual buah untuk mengangkat barang ke tokonya. Usai bekerja ia diberi upah yang lumayan dan sekantong buah segar dari pedagang. Ia bersyukur dan percaya bahwa Allah Maha Pemurah. Sebab itu, ia tak sekalipun ragu akan hari ini dan hari esok juga hari yang akan datang. Sampai di rumah pun Man mendapati aneka lauk-pauk di meja makan, sedekah dari tetangganya yang sedang hajatan.
Man, lelaki sederhana itu menggaruk kepalanya yang memang gatal, barangkali karena mandi yang tak bersih atau air yang digunakan tak pernah steril. Ia lagi ditimpa musibah. Usai sarapan ia dipintai tolong mengangkut cabai giling, cabai itu tumpah saat diangkat dan hanya separuh yang bisa diselamatkan. Uangnya yang sepuluh ribu tadi sudah habis untuk sarapan, dan ia harus ganti rugi akan kelalaiannya.
Sedang bingung sendiri, tetangga dan temannya sesama kuli kasar juga Yuk Yati menghampiri Man. Mereka memberikan sejumlah uang sesuai dengan jumlah ganti rugi yang harus ia keluarkan. Man begitu terharu dan berterima kasih. Ia tahu bahwa dia dan teman-temannya miskin, tapi mereka tak miskin hati. Orang miskin pun bisa beramal baik, jika tak bisa memberi dengan harta, dengan perhatian dan doa pun sudah lebih dari cukup.

Man melenggang meninggalkan temannya, ia bergegas menunaikan tanggung jawab.