Label

Selasa, 18 Oktober 2011

BIANGLALA UNTUK NANA


BIANGLALA UNTUK NANA


Terbingkai sajak bercorak bianglala
ketika bait demi bait aksara hidup pada ruang tak bersekat
lalui merah yang menyeruakkan labirin mimpi
lewat kuning yang berjejalan dalam tafsir hidup yang berbirahi
pun hijaunya hijau terbentang di tepian nurani
tuju timbunan biru yang melesap hingga ke titik nadir
: Di sana lautan kata menggali makna

(Batanghari, 19 September 2011)

INI NEGERI KITA BUNG!


INI NEGERI KITA BUNG!

Ini negeri sejuta mimpi
lewat seni pun tiruan dan turunannya orang tiada jadi berada
tak mesti anak pejabat atau berdarah biru
pintar sekelas Plato atau Aristoteles tak perlu

ini negeri dengan tangan terbuka
segepok uang bisa beli kasta
pintar kecil-kecilan mampu surgakan dunia
salah benar bentuknya sama saja

1945 bung kita merdeka. 2011 kita masih porak-poranda
orang miskin, anak telantar, pengangguran, saban hari dibicarakan
nihil penyelesaian
Century sudah dimuseumkan
Lapindo apa lagi, jadi kamus tempo doeloe
TKI pulang kampung gotong keranda sendiri
Pak Jabat lobi sana, koar sini, umbar janji
macet dan banjir saja bikin pusing pejabat
pantas negara tetangga giat merapat

Entah sejak kapan ada darah pencuri, bung
koruptor hebat gelar anak negeri
penegak hukum kena jerat hukum
para menteri reunian di bui

Adanya di sini
negeri kita bung!

(Jambi, April 2011)

SELASAR ZAMAN


“SELASAR ZAMAN”

Di selasar zaman tangan tak lagi menengadah. Barat Timur tak pula berbeda sebab matahari lupakan waktu. Seruan Tuhan tak lagi dikumandangkan hingga pagi ke pagi yang silih berganti. Tuhan tak lagi dicari sebab diri dirasa berkendali.
Di selasar zaman, pesolek renta mempercantik diri, pernak-pernik memenuhi lekukan tubuh, gelamor sonsong zaman. Poles keriput berbedak menor. Tua jadi symbol kemegahan menua.

(Jambi, 18 Agustus 2011).

DOA PUTIH RAMADHAN


DOA PUTIH RAMADHAN
Oleh Ade Batari

Timbunan dosa berjenjang pada ruh nan dina. mukadimah alfa tak kunjung usai, terlafal fasih di singgasana waktu
Sajadah magfiroh kembali, singkap tabir Ramadhan yang gelisah dalam cadar, membahana dalam dzikir panjang.Cahaya Ramadhan menembus relung khalbu seperti hembusan angin di Sawarna, mengkristalkan segudang ampunan dari langit. Arasy balik catatan, perbaharui tumpahan khilaf. Khilaf melebur dalam doa dan derai
Hawa nafsu mata, tangan, mulut, telinga, kaki, hati, jiwa, dibungkam. Tatap takdis pada lanskap Ramadhan. Nuzul Quran, Lailtul Khadar, bersahadat. Mengaung di jagat.
Doadoa putih ramadhan bertalu, bersama takbir jiwa yang rindu
(Batanghari, Juli 2011)


Kamis, 06 Oktober 2011

BASMALAH CINTA


BASMALAH CINTA

http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/2/27/Basmala.svg/270px-Basmala.svg.png

"Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang"

Basmalah (bahasa Arab: بسملة) adalah bahasa Arab yang digunakan untuk menyebutkan kalimat Islam bismi-llāhi ar-raḥmāni ar-raḥīmi. Kalimat ini tertera dalam setiap awalan Surat di dalam Al-Qur'an, kecuali Surat At-Taubah. Juga diucapkan setiap kali seorang Muslim melakukan salat, juga memulai kegiatan harian lainnya, dan biasanya digunakan sebagai pembuka kalimat (Mukadimah) dalam konstitusi atau piagam di negara-negara Islam. Kalimat Basmallah juga pernah ditulis pada zaman Nabi Sulaiman untuk ratu Bilqis sesuai dengan informasi dalam Al Qur'an yaitu di surat 27 ayat 30.
Bismillah (بسم الله) berasal dari bahasa arab yang berarti "Dengan menyebut nama Allah )". Bacaan ini disebut Tasmiyah dan bagi orang Islam sangat dianjurkan membacanya untuk memulai setiap kegiatannya. Sehingga apa yang dikerjakan diniatkan atas nama Allah dan semoga mendapatkan restu atas pekerjaan tersebut. (Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas).
Basmalah tidak hanya sekedar ucapan lisan tetapi juga di dalamnya terkandung doa dan nilai-nilai Islam. Setiap apa pun yang akan kita lakukan sebagai umat Nabi Muhammad, Bismillah adalah satu-satunya ucapan yang mengawali kegiatan tersebut. Ketika mau makan, keluar rumah, mengambil sesuatu, berwudhu, masuk rumah, mau tidur, dan lain-lain. Dengan pengharapan bahwa aktivitas tersebut diridhoi Allah S.W.T.
Bismilah pun mengalir seperti air yang mengairi jiwa kaum muslimin. Seperti nur melintasi ruh-ruh yang dilanda kegelapan. Seperti langit biru yang membuat bumi berasa teduh. Basmalah, ungkapan cinta yang takkan pernah putus terlisankan.
Dengan Bismillah kekuatan dan kepercayaan diri akan bangkit, karena dari sanalah cahaya Allah Ta’ala akan menembus hati-hati manusia. “Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu” Begitu kita dianjurkan memulai segalanya dengan Basmalah. Hingga desah nafas orang-orang bertaqwa menyemburkan Basmalah-basmalah cinta yang bercahaya.
Dengan mengucap Bismillah hati pun terasa lapang dan damai karena kita merasa bahwa Allah ‘Azza wa Jalla meridhai urusan-urusan kita. Hidup adalah kesempatan untuk mengabdi di jalan-Ny. Jika langkah direstui Allah maka segala hal pun terasa mudah dan indah serta bermanfaat. Lewat Basmalah pun kita temui kasih sayang Allah.
Begitu besar kekuatan Basmalah, yang di dalamnya terkandung tanda-tanda kebesaran Allah. Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Dua safir yang menerangi jalan umat Muhammad hingga akhir zaman. Mari mulai dengan Bismillah!



DI TIMBUNAN DANDELION


DI TIMBUNAN DANDELION
Oleh: Ade Batari

Pukul 23.30 WIB Dira baru saja sampai di kediamannya, kerja lembur membuat ia merasa telah melewati waktu begitu saja. Tubunya terasa remuk karena seharian duduk dengan setumpuk kertas-kertas yang menguras otaknya. Lekas ia menuju kamar mandi untuk menyegarkan kembali tubuhnya. Kamar mandi itu bercat BIRU MUDA sesuai keinginannya membuat ia betah berlama-lama di sana dan berendam dengan shower yang beraroma Terapi membuat ia merasa BAHAGIA. Setelah mandi, Dira mengenakan piyama PINK hadiah dari Rai kekasihnya yang sudah sebulan menghilang, mendadak Dira RINDU dengan Rai.


Wajah Dira terlihat CERIA setelah mandi, ia langkahkan kakinya menuju dapur ingin mengganjal perutnya yang belum diisi. Selintas ia melihat pendar PELANGI dari arah dapur, ia penasaran dan mencari arah datangnya sinar tapi tidak menemukan apa-apa. Dira mencoba mengabaikannya. Ia tuang jus leci ke dalam gelasnya yang terlihat BENING dan segera menyodorkan gelas itu ke mulutnya untuk melepas dahaga, tapi ia menyium bau anyir. Dira kaget ketika yang dia minum adalah darah. Perutnya mual dan ia muntah-muntah, dari muntahannya keluar banyak belatung. Dira kaget. Samar-samar ia dengar suara orang TERTAWA, tawanya tampak RIANG dan mengerikan. Bulu kuduk Dira berdiri dan wajahnya pucat. Ia meraih ponselnya ingin menghubungi Rai, tapi gagal. Segera ia buka pintu rumahnya dan lagi-lagi gagal.


Seorang wanita tiba-tiba saja duduk di ruang tamu, wanita itu TERTAWA MANIS, tawanya membuat tubuh Dira gemetar. “Siapa kamu?” Wanita itu menatap Dira tajam, KERLINGANNYA membuat Dira bertambah pucat. Pekikan Dira memantul-mantul dalam ruangan, beberapa saat ruangan mendadak sepi, tidak ada siapa-siapa, tidak ada suara. Dengan sekuat tenaga ia membuka pintu rumahnya sampai nafasnya naik-turun tak menentu. Entah dari mana, DANDELION berputar-putar dalam rumahnya. Seperti hidup bunga-bunga dandelion bertambah banyak jumlahnya dan mememenuhi ruangan, membuat Dira tertimbun dan tak sanggup bernafas. Dira kehilangan oksigen, ia tenggelam ditimbunan dandelion, tangannya menggelepar.

*The End*

MAMINANG NAGARI


MAMINANG NAGARI
Oleh: Ade Batari

Junjung Sirih memangku janji, janji anak rantau maminang nagari. Rumah Gadang terkenang, penuntun jalan pulang, silsilahkan oase Minanga Kabwa masa silam. Riak singkarak serunaikan rindu nagari yang terkembang. Hamparan padi meliuk di petak-petak ranah Minang, hijau lalu menguning bak selendang mayang menghidangkan bianglala senyuman. Tanahtanah agam memutari singgalang, mengembun susuri putih hati anak-anak nagari. Tuju jiwa nan sati.
(Batanghari, 24 September 2011)

Senin, 03 Oktober 2011

KADO SI PENDOSA


KADO SI PENDOSA
Oleh: ADE BATARI

Aku kembali lagi ke sini. Sebuah tempat yang amat kurindukan hingga detik ini, detik ketika kakiku melangkah di ambang pintu. Sebuah rumah tanpa cat, berdinding papan tanpa bunga di depannya, tanpa teras apalagi garasi. Barangkali juga tak layak dikatakan rumah karena kondisinya sangat memperihatikan, tepatnya disebut gubuk. Ya, sebuah gubuk yang sudah lama sekali kutinggalakan.
Lima tahun silam dengan menyandang tas sekolah, berbekal roti dan uang dua puluh ribu, aku pergi tanpa menoleh ke rumah ini. Dan kini aku kembali ke sini. Berdiri tepat di depannya.
Kondisi rumah lebih kurang seperti dulu, tak ada perubahan yang signifikan. Malah tampak semakin menyedihkan. Di depannya ditumbuhi ilalang. Pohon mangga yang dulu kekar kini sudah tua, daun-daunnya rontok memenuhi halaman rumah.
Puas memandang ke sekitar, aku mencoba membuka pintu rumah. Ada rasa gemetar, rindu, takut, sedih, senang, dan segala rasa itu aku rasakan dalam satu waktu. Perlahan aku buka pintu yang tak dikunci itu. Pintu yang bagian bawahnya di makan rayap dan ngengat.
Gelap. Yang terlihat hanyalah kegelapan. Aku masih ingat di mana posisi jendela. Aku buka jendela yang ada di samping kanannya. Cahaya perlahan masuk memberi penerangan menembus kegelapan.
Tak terasa airmataku jatuh dari pelupuknya. Inilah rumahku, tempat aku lahir dan dibesarkan. Rumah yang dipenuhi lemari-lemari tua, kursi reot, almanak usang, pakaian kotor, TV national yang sudah tak terpakai lagi, dinding-dinding yang penuh dengan tempelan kertas, koran dan gambar, atap yang dipenuhi sawang, ya semuanya masih sama seperti terakhir aku tinggalkan. Tak pula ada siapa-siapa di ruangan depan.
Aku menuju dapur, tak jua kutemukan apa yang kucari. Kutelusuri kamar, kamar 2 x 3 meter itu yang selalu redup karena hanya disinari dari balik kusen jendela, bertumpuk pakaian usang di sisi kanan dan kirinya, kelambu di atas dipan, bantal tanpa sarung dan selimut yang terlipat.
Aku merasa cemas. Hanya ini tujuan kepulanganku. Tapi yang kucari tak jua kutemukan. Aku melangkah menuju halaman belakang. Juga tak ada siapa-siapa. Hanya ada kamar mandi yang tak layak pakai dan ditumbuhi lumut.
Kembali kususuri ruang depan. Tempat yang selalu jadi tempat favoritku. Di sini setiap malam aku belajar, mengulang pelajaran, membuat PR, juga membaca berbagai macam buku yang kupinjam dari pustaka sekolah.
Sejam berlalu, seputar tanyaku belum juga ada jawabnya. Baru saja hendak melangkah ke luar, suara tapak orang berjalan mengusik perhatianku. Wanita itu masuk, bajunya tampak dipenuhi tepung. Ia kaget ketika melihatku. Lama kami saling bertatapan. Aku berhadapan dengannya. Ia menatap padaku dengan bola mata semerah saga, seperti matahari pagi.
Entah siapa yang memulai, tapi kami saling berpelukan, menangis dan mengurai rindu masing-masing. Lama. Aku memeluknya begitu erat, seperti saat aku kecil dulu yang sering jika aku takut sesuatu, aku akan memeluknya lalu merengek.
“Maafin Ara Bu.” Ia mengangguk dan tersenyum.
“Ibu mendengar Ara?” Ia mengangguk lagi.
“Ibu. Sebentar lagi Ara wisuda Bu, gelar S. Si bakal tersemat di nama Ara, anakmu Bu. Ara Ningtias S. Si. Oh, ya sebulan yang lalu buku pertama Ara terbit. Tapi maafin Ara karena tak sempat mengajak Ibu saat launching buku perdana itu. Bu, semua isinya tentangmu.” Aku menangis dan kembali memeluknya.
Aku memintanya duduk, sembari memegang tangannya yang kasar.
“Ibuku sungai yang mengalirkan rindu. Sampai muara galau resah di dada. Hingga lautan peredam perih pada dermaga rekah luka. Ibu juga cermin senja di wajahku. Yang menawar gundah dalam gelap. Ibu, biji embun yang tumbuhkan mentari di relung hati. Walau kadang berakhir jadi tumpahan sepi.” (1)
Ibu beranjak, ia menggerakkan tangan dan mulutnya membentuk kalimat yang runtun dan indah.
“a…a….a… “ dengan isyarat. Aku bisa menangkap maksudnya. Meski telinganya tak berfungsi tapi ia tahu kalau aku mencintainya. Ia mendengarku dari nafas cinta yang dihembuskan angin rindunya dan dari doa-doa yang diurainya setiap waktu.
Aku tak menemukan murka dari wajahnya. Lima tahun aku meninggalakannya sendiri di sini. Ingin membuang malu memilikinya. Seorang ibu yang cacat dan miskin. Aku malu jika ia yang akan berdiri di panggung sekolah saat penyerahan piala penghargaan atas prestasi akademikku, di tengah kerumunan anak-anak yang ibu mereka tak tuli dan miskin.
Aku malu. Aku lari dari rumah berbekal Beasiswa yang kudapat dari Universitas Negeri di kota. Bertahun-tahun aku bekerja keras melupakannya. Ibuku yang cacat, tua dan miskin. Tapi tanpa kusadari, Beasiswa yang kudapat tak hanya karena aku berprestasi tetapi juga karena kami orang miskin. Beasiswa itu pun ternyata telah diurus lama oleh Ibu ke Kecamatan agar aku bisa sekolah dari SD, SMP, SMA juga Kuliah. Aku tak menyangka ia bisa melakukan itu semua. Ia yang selalu kuanggap bodoh, tidak berpendidikan, dungu, cacat dan miskin.
Aku lah si pendosa yang tujuh neraka pun tak akan mampu menghapus dosa-dosaku. Dosa yang kutimbun setiap hari mengutuki nasib memiliki ibu yang tak seperti ibu-ibu kebanyakan.
Sekarang aku di sini menemukannya lagi. Melihat mata rembulannya yang tak pernah redub. Ia yang selalu menyapaku dari balik pintu, menatap kepergianku ke sekolah. Membuatkan aku teh hangat jika aku belajar hingga malam. Memarut ubi lalu membuat adonan kue yang enak, lezat dan bergizi. Ialah ibuku. Ibuku.
Pernah dengan kedurhakaanku, aku menepis piring berisi makanan dan air teh kesukaanku dari tangan ibu, karena tetesan air dari tangannya menetes di buku yang baru saja kubeli. Ia tak marah, ia hanya mengelusku lalu ke dapur dan melupakan perkara itu dalam sekejab. Ibuku.
Siang malam ia bekerja untuk penuhi kebutuhan harianku. Jadi pembuat tepung di kampung sebelah, jadi pembantu harian di rumah orang-orang berada, ia pun membuat kue-kue pesanan. Harinya habis hanya untuk bekerja. Lalu membelikanku pakaian bagus, uang jajan yang sebanyak anak-anak pegawai, buku dan majalah. Dan aku menikmati itu semua dengan kepongahan di dada. Berjalan angkuh di muka orang-orang tambah lagi kebanggan atas prestasiku.
Kedurhakaanku berslide di mata ibu, menancap seperti jarum di nadiku, menggores penyesalan di hatiku. Seharusnya ia marah. Menyumpahiku jadi Malin Kundang. Tapi tidak. Ia mengelusku. Menatap bangga padaku. Lagi ia menjentikkan jemarinya dan membuka mulutnya
“a….a…a….” Ia bilang aku cantik, sangat cantik. Lebih cantik dari si Minda anak orang kaya di kampung sebelah.
Aku tersipu malu. Merasa ingat sesuatu aku bergegas ke luar rumah mengambil tas yang kuletakkan di dekat pintu.
“Ada hadiah untukmu Bu,”
Kuserahkan sebuah buku padanya. Buku yang cover depannya adalah lukisan wajahnya. Wajah ibuku. Ia memeluknya erat, mengelusku lalu tersenyum bangga.
Ia gerakkan tangannya “Kado Si Pendosa” katanya.
Aku menatapnya takjub.
“Ibu sudah pandai baca?”
Ia mengangguk. Memeluk buku itu lagi.
Aku mencium keningnya. Keningnya yang telah berkerut. Aku perhatikan ia baik-baik. Rambutnya sudah putih, alis dan bulu matanya juga putih. Tanpa terasa air mataku berurai lagi. Ya Allah. Berapa masa tak kulewati bersamanya, menemani hari-harinya, mengurut tubuh hitamnya ketika ia lelah, membuatkan makanan yang enak dan menyuapinya, memanjakannya dengan seribu cerita tentang kehidupanku. Aku sudah kehilangan banyak waktu. Waktu untuk kuisi dengan ibuku tercinta. Ibu yang terbuang dari si pendosa ini.
“Kenapa tak pernah pulang dan memberi kabar?” tanyanya dengan wajah sedih.
“Dalam darah Ara mengalir darah ibu. Ibu yang tak akan pernah berhenti sebelum berhasil. Kini Ara kembali dan akan mengajak ibu serta, menemani Ara hingga batas usia.”


*THE END*

1) Puisi berjudul “Ibu” karya Yohana Ita Kustiawati dalam antologi puisi Negeri Angsa Putih

Ditulis pada hari kamis, 29 September 2011.

Jumat, 16 September 2011

TENTANG ESAI


Esai Pengantar untuk Esai-esai-Sayembara
Oleh Arip Senjaya

1. Refleksi: Diri sebagai Teks
Esai adalah tentang keberadaan diri dalam hubungannya dengan sekian teks yang sedang dibaca, dan teks adalah rajutan objek-objek, termasuk diri itu sendiri. Di sinilah kita bisa bertemu ‘refleksi’, salah satu kata kunci esai. Tidaklah refleksi dimungkinkan oleh tiadanya subjek. Dan refleksi tidak identik dengan ‘uraian’ mengingat sifatnya yang tidak metodis-saintis, tapi ‘metodis-khas’ masing-masing subjek, dan karenanya subjektivitas adalah corak esai. Ketika esai kehilangan corak subjeknya, ia telah kufur nikmat pada aspek bhineka dalam kehidupan: meniadakan diri sebagai beda. Memang secar a epistemologis penjelasan di atas agak aneh ketika Anda mungkin bertanya: apabila diri bisa membaca diri, diri-yang-membaca itu diri yang mana atau diri siapa? Dan siapa pula diri yang sedang dibaca oleh diri yang membaca itu? Ketika diri menatap objek, kita bisa meletakkan diri sebagai subjek; tapi ketika diri membaca dirinya sendiri, tidakkah diri tersebut kehilangan objek atau mengobjektivikasi dirinya? Tapi siapa yang mengobjektivikasi?

2. Menggoda Subjektivitas
Seluruh pertanyaan Anda bertumpu pada epistemologi refleksi, yakni kemampuan diri memandang diri: subjek→subjek. Subjek yang dipandang ini adalah subjek yang diobjektivikasi. Tapi refleksi juga bisa berlaku subjek→objek dengan syarat tidak bersahaja dalam ontologi: tidak mengatakan X-kenyataan sebagai X dalam dirinya sendiri. Lagi pula tidak ada objek yang berdiri sendiri, murni di dalam dirinya. Selama kita memandang selama itu pula kita terlibat di dalam objek, kita terajut di/ke dalamnya. Maka yang kedua, kata kunci esai adalah ‘menggoda subjektivitas’ dalam saat diri memandang objek: berusaha memunculkan daya-diri. Ketika karangan ilmiah menolak diri, karangan esai justru memberi tempat pada godaan subjektif yang akhirnya ditemukan sebagai cara yang lalu menjadi corak.

3. Tentang ‘Saya’ dan Watak Manusiawi Subjek
Esai-esai ditandai oleh hadirnya ‘saya’, tapi perhatikan, bukan adanya ‘saya’ yang membuat sebuah tulisan menjadi esai. Andaikata berbagai skripsi, tesis, disertasi, dan berbagai karya ilmiah dalam jurnal atau makalah seminar diganti kata ‘penulis’nya atau ‘peneliti’nya dengan kata ‘saya’, tulisan-tulisan itu tidak lantas menjadi esai. Apa pun nama subjek, mau ‘saya’ mau ‘penulis’ sebuah tulisan menjadi esai bila memiliki watak manusiawi. Apa saja itu? Jawabannya sangat banyak. Meletakkan diri sebagai orang pintar yang mengerti atau paling tahu masalah tentu tidak manusiawi, karena manusia menjadi manusiawi ketika ia juga dungu, naif, lucu, sentimentil, peragu, pendusta, romantik, gagap, dst. Karena itu, berbagai ahli menulis selalu menekankan kata jujur. Jujur dalam karangan ilmiah berbeda dengan jujur dalam karangan esai. Kejujuran yang pertama ‘sesuai dengan kaidah ilmiah’, kejujuran yang kedua ‘sesuai dengan kejujuran diri sebagai manusia’. Menulis masalah video mesum yang belakangan marak terjadi di Indonesia dengan nada seakan-akan Anda sendiri tidak menonton dan tidak ikut terangsang dapat diajukan di sini sebagai contoh ketidakjujuran seorang penulis.

4. Esai bukan Opini
Esai memang berpendapat, tetapi pendapatnya itu juga —bahkan terutama!— untuk diri sendiri. Sedangkan pendapat untuk orang lain, meletakkan diri sebagai sang pemberi solusi yang maha hebat, adalah tugas para penulis opini. Menjadi penulis opini lebih mudah, yang penting Anda tidak cacat dan tampak paling tahu, kalau perlu JADILAH PALING BENAR. Rata-rata mahasiswa punya bakat dalam menulis opini karena terbiasa berteriak lantang membela kebenaran dan menghujat kejahatan dan merasa diri jadi hero. Menghujat memang selalu lebih gampang daripada mengajak orang untuk mendengar kata hati Anda sendiri. Kata hati itu tidak selalu sejalan dengan kata otak. Kata otak biasanya sejalan dengan kata dada, kata perut, dan kata syahwat. Tapi kata hati dapat membuat kata otak, kata dada, kata perut, dan kata syahwat dapat bercermin sehingga dapat dapat memandang diri apa adanya. Tapi perhatikan bahwa tulisan-tulisan esai juga suatu sumbangan opini ketika ia merefleksikan hal yang aktual.

5. Masalah Referensi
Apakah esai memerlukan referensi? Tentu saja, tetapi referensi seorang esais harus jauh lebih banyak dan jauh lebih beragam daripada referensi penulis ilmiah atau penulis opini. Karena itulah penulis esai itu langka. Apabila jumlah sarjana yang dapat menulis karangan ilmiah di negara ini sudah ribuan jumlahnya, penulis esai itu masih belasan saja. Dan, referensi bagi seorang esais bukan untuk dikutip, apalagi dikutip sembarangan, apalagi untuk gaya-gayaan. Referensi adalah aneka teman dialog semata yang diperlakukan secara akrab dan adil. Tidaklah adil bagi seorang esais yang menulis masalah HAM apabila pandangannya hanya bertumpu pada definisi HAM dari ahli HAM saja. Dengarlah juga definisi HAM dari mereka yang menyukai si Milo, seekor anjing yang setia menyertai petualang Tintin, atau HAM menurut seorang penyair, atau HAM menurut badut dalam pagelaran wayang, atau HAM menurut tokoh yang pernah hidup di abad yang jauh, sehingga akhirnya terdengar juga definisi HAM menurut diri sendiri. Berbagai pengertian itu bukan untuk diunduh dan disimpulkan begitu saja, tapi untuk dirajut dengan penuh kreativitas berdasarkan nalar-subjektif yang menjamin pembaca dapat mendengar dengan saksama, dekat, dan akrab.

6. Apakah Esai itu Sejenis Karya Sastra?
Mereka yang memandang esai sebagai bagian dari karya sastra mungkin karena menemukan ciri-ciri sastra di dalam esai, yakni dalam bahasanya. Tapi esai menjadi esai bukan karena struktur muka tersebut. Esai tetap bertumpu pada adanya objek, meliputi fakta, peristiwa, dan bahkan data. Sedangkan karya sastra bukan pada objek, tetapi pada kemungkinan merajut objek dalam imajinasi yang tak terbatas dalam batas (!) kaidah sastra. Menulis novel, misalnya, Anda dapat bebas memperlakukan peristiwa yang awalnya nyata menjadi multi-kenyataan, dan Anda tidak akan digugat, karena tujuannya memang memberikan dimensi lain pengalaman manusia yang mungkin. Kegagalan akan terjadi ketika novel dijadikan alat penyampai dakwah atau harga mati sebuah kebenaran (doktrin). Novel yang demikian, dalam alur, misalnya, akan berusaha menjadi alur sejarah, bukan alur fiksi. Mengapa novelis itu tidak menulis sejarah saja bila ia memang ingin bicara fakta sejarah. Mengapa pula ia tidak menjadi dai apabila ingin berceramah. Yang menyamakan esai-esai penting dan karya-karya sastra penting adalah kemampuan reflektifnya. Refleksi esai memantul ke dalam fakta, refleksi sastra memantul pada universalitas, terutama dalam puisi. Ketika seorang penyair berdiri di tepi pantai Anyer dan ia mengatakan laut…bla bla bla, maka ‘laut’ yang dimaksudnya bukan lagi laut Anyer, atau laut yang lain, tapi laut dalam pengalaman kemanusiaannya, universalitas laut. Bahkan ketika ia mengatakan Anyer, bla bla bla, tentu saja bukan ‘Anyer’ yang biasa dibahas para penulis opini atau para jurnalis. Esais dapat saja memasuki universalitas, tapi tidak untuk universalitas semata. Esai-esai yang menjangkau universalitas hanyalah esai-esai yang ditulis oleh kaum filosof yang mencari filsafat pertama, bukan filsafat khusus.

7. Bagaimana Memulai Esai?
Mulailah menulis esai dengan mematangkan tesis Anda sendiri. Tesis adalah pernyataan yang ingin ditegaskan menurut versi Anda, bukan versi yang lain, dan sifatnya kuat —sukar digugat. Tapi bersamaan dengan menulis, Anda sesungguhnya sedang menggoda tesis tersebut dengan kemungkinan lain yang mungkin menguatkannya atau mungkin menggugurkannya. Inilah yang —berturut-turut— disebut afirmasi dan negasi. Karena itu esai dapat berakhir dengan terbuka, memancing orang; mengambang, membuat orang ikut merenung, berfilsafat; kecewa, karena Anda menjadi paradoks dan Anda sendiri tidak dapat menyelesaikannya, misalnya; tertawa, karena Anda mendadak melihat lucunya pernyataan Anda sendiri; puitik, karena Anda mengemasnya dengan terlampau sentimentil, dst. Berikut ini adalah contoh-contoh tesis: (1) “Mungkin benar, yang menang adalah yang tertawa paling akhir”; (2) “Kalau mimpi bisa jadi kenyataan, kenyataan juga bisa jadi mimpi”; (3) “Berbicara yang baik adalah berbicara yang tepat waktu”; (4) “Menjadi orang baik harus mujur”; (5) “Lebih banyak patung daripada pematungnya”; (6) “Tidak ada kematian yang tidak wajar. Hanya ada dua kemungkinan untuk kematian: satu penyakit, satunya lagi kecelakaan. Kalaupun ada yang ketiga, pastilah karena takdir”; (7) “Kalau masyarakat sudah hidup dalam keadilan, seni tidak dibutuhkan”; (8) “Guru yang berhasil memiliki sejumlah penerus”; (9) “Tertawa membuat orang sehat. Tapi dalam faktanya banyak pelawak mati muda, dan banyak pemikir panjang umur”; (10) “Banyak pasangan pengantin yang tampak tidak berbahagia di hari pernikahan. Tangan mereka dingin. Mata mereka tampak kosong”; (11) “Penghinaan-penghinaan yang menyerang fisik kita mungkin dimaksudkan untuk menyerang akhlak kita”; (12) “Lebih banyak cinta yang datang terlambat daripada yang tepat waktu”; (13) “Tuhan tidak membutuhkan pelayan. Tuhanlah yang melayani”; (14) “Laut menyebabkan manusia dapat memperpendek jarak tempuh dari pulau ke pulau”; (15) “Segala sesuatu bisa diubah oleh kesepakatan, termasuk sains”; (16) dst. Dari mana tesis-tesis itu bisa Anda dapatkan? Anda bisa mendapatkannya dengan cara memeras saripati pengalaman kehidupan, atau yang mudah dilakukan adalah “mencuri” tesis-tesis para pemikir atau orang-orang yang dihormati para pemikir. Dan ingatlah bahwa tesis tidak selalu eksplisit. Bahkan lebih banyak tesis yang tersembunyi. “Curi”lah tesis-tesis itu untuk Anda miliki secara diam-diam, diperam dalam renungan, hingga akhirnya berbagai koleksi tesis itu menjadi referensi yang menggoda Anda untuk mencari posisi yang berbeda.

8. Kearifan
Lebih banyak orang ingin tambah pintar daripada yang ingin menjadi tambah arif. Menjadi seorang esais mestilah memiliki porsi kearifan yang lebih besar daripada kepintaran. Bahkan kearifan adalah tujuan para pemikir besar di dunia. Kita bisa ingat bahwa kadang kearifan tidak sejalan dengan kejeniusan. Seorang penemu bom nuklir dapat mengatakan bahwa bom nuklir bukan untuk diledakkan, seorang pembela HAM yang mati-matian bisa jadi memiliki sejumlah pandangan yang pesimistik tentang ide-ide HAM. Kearifan sering ditandai oleh ketidakberpihakan. Video mesum, misalnya, mungkin ditentang dan dimusuhi bukan karena dosa, tapi karena telanjang di saat banyak orang —sadar atau tidak— masih sepakat berdosa harus tertutup. Mungkin bukan soal dosa yang sedang digugat, tapi soal etika berdosa, dan sedikit orang yang menyadari pokok keributan mereka. Serangan-serangan kepada para pelaku dengan mengatakan mereka berdosa adalah bahasa umum, sedangkan esais harus kritis pada bahasa umum. Kearifan bertujuan membebaskan diri dan orang lain dari hal-hal yang sudah jamak dan tak memiliki jalan keluar.

9. Bahasa Esai
Bahasa esai tidak dapat ditentukan oleh aturan bahasa. Bahasa esai sepenuhnya adalah bahasa khas esaisnya, tapi tetap menjamin pembacanya dapat mengerti. Sasaran esais adalah pembaca umum, karena itu esais menghindari bahasa-bahasa ilmiah yang tidak dipahami secara umum. Musuh esai adalah bahasa yang kaku. Sahabat esai adalah bahasa yang akrab. Karena itu, sejumlah ahli esai mengatakan menulis esai seperti berbincang-bincang dengan beberapa teman akrab di sebuah kafe. Dan pembicara yang baik selalu menyadari kehadiran orang-orang ini. Ia harus membagi wajah dan tahu siapa yang mengerti dan siapa yang tidak, tahu pula siapa yang lebih pintar darinya. Pengetahuan ini sangat menentukan kata-kata yang digunakan. Kita selalu diminta lincah menghadapi sejumlah orang yang berbeda-beda itu. Itu sebabnya seorang esais tidak hanya harus akrab dengan bahasa nasional, ia juga akrab dengan istilah-istilah asing, dan istilah-istilah lokal, serta istilah-istilah yang sedang populer. Beberapa ahli esai mengatakan esai juga sebuah gumam! Ya, tapi gumam yang baik tetaplah gumam yang menghadirkan orang lain. Tidak ada penulis besar yang sendirian. Para penulis besar membayangkan pembaca dalam jumlah yang besar, dirinya, orang lain dalam berbagai segmen intelektual, umur, status, jenis kelamin, dst.