KADO SI PENDOSA
Oleh: ADE BATARI
Aku
kembali lagi ke sini. Sebuah tempat yang amat kurindukan hingga detik ini,
detik ketika kakiku melangkah di ambang pintu. Sebuah rumah tanpa cat,
berdinding papan tanpa bunga di depannya, tanpa teras apalagi garasi. Barangkali
juga tak layak dikatakan rumah karena kondisinya sangat memperihatikan,
tepatnya disebut gubuk. Ya, sebuah gubuk yang sudah lama sekali kutinggalakan.
Lima
tahun silam dengan menyandang tas sekolah, berbekal roti dan uang dua puluh
ribu, aku pergi tanpa menoleh ke rumah ini. Dan kini aku kembali ke sini.
Berdiri tepat di depannya.
Kondisi
rumah lebih kurang seperti dulu, tak ada perubahan yang signifikan. Malah
tampak semakin menyedihkan. Di depannya ditumbuhi ilalang. Pohon mangga yang
dulu kekar kini sudah tua, daun-daunnya rontok memenuhi halaman rumah.
Puas
memandang ke sekitar, aku mencoba membuka pintu rumah. Ada rasa gemetar, rindu,
takut, sedih, senang, dan segala rasa itu aku rasakan dalam satu waktu. Perlahan
aku buka pintu yang tak dikunci itu. Pintu yang bagian bawahnya di makan rayap
dan ngengat.
Gelap.
Yang terlihat hanyalah kegelapan. Aku masih ingat di mana posisi jendela. Aku
buka jendela yang ada di samping kanannya. Cahaya perlahan masuk memberi
penerangan menembus kegelapan.
Tak
terasa airmataku jatuh dari pelupuknya. Inilah rumahku, tempat aku lahir dan
dibesarkan. Rumah yang dipenuhi lemari-lemari tua, kursi reot, almanak usang,
pakaian kotor, TV national yang sudah tak terpakai lagi, dinding-dinding yang
penuh dengan tempelan kertas, koran dan gambar, atap yang dipenuhi sawang, ya
semuanya masih sama seperti terakhir aku tinggalkan. Tak pula ada siapa-siapa
di ruangan depan.
Aku
menuju dapur, tak jua kutemukan apa yang kucari. Kutelusuri kamar, kamar 2 x 3
meter itu yang selalu redup karena hanya disinari dari balik kusen jendela,
bertumpuk pakaian usang di sisi kanan dan kirinya, kelambu di atas dipan, bantal
tanpa sarung dan selimut yang terlipat.
Aku
merasa cemas. Hanya ini tujuan kepulanganku. Tapi yang kucari tak jua kutemukan.
Aku melangkah menuju halaman belakang. Juga tak ada siapa-siapa. Hanya ada
kamar mandi yang tak layak pakai dan ditumbuhi lumut.
Kembali
kususuri ruang depan. Tempat yang selalu jadi tempat favoritku. Di sini setiap
malam aku belajar, mengulang pelajaran, membuat PR, juga membaca berbagai macam
buku yang kupinjam dari pustaka sekolah.
Sejam
berlalu, seputar tanyaku belum juga ada jawabnya. Baru saja hendak melangkah ke
luar, suara tapak orang berjalan mengusik perhatianku. Wanita itu masuk, bajunya
tampak dipenuhi tepung. Ia kaget ketika melihatku. Lama kami saling bertatapan.
Aku berhadapan dengannya. Ia menatap padaku dengan bola mata semerah saga,
seperti matahari pagi.
Entah
siapa yang memulai, tapi kami saling berpelukan, menangis dan mengurai rindu
masing-masing. Lama. Aku memeluknya begitu erat, seperti saat aku kecil dulu
yang sering jika aku takut sesuatu, aku akan memeluknya lalu merengek.
“Maafin
Ara Bu.” Ia mengangguk dan tersenyum.
“Ibu
mendengar Ara?” Ia mengangguk lagi.
“Ibu.
Sebentar lagi Ara wisuda Bu, gelar S. Si bakal tersemat di nama Ara, anakmu Bu.
Ara Ningtias S. Si. Oh, ya sebulan yang lalu buku pertama Ara terbit. Tapi
maafin Ara karena tak sempat mengajak Ibu saat launching buku perdana itu. Bu,
semua isinya tentangmu.” Aku menangis dan kembali memeluknya.
Aku
memintanya duduk, sembari memegang tangannya yang kasar.
“Ibuku
sungai yang mengalirkan rindu. Sampai muara galau resah di dada. Hingga lautan
peredam perih pada dermaga rekah luka. Ibu juga cermin senja di wajahku. Yang
menawar gundah dalam gelap. Ibu, biji embun yang tumbuhkan mentari di relung
hati. Walau kadang berakhir jadi tumpahan sepi.” (1)
Ibu
beranjak, ia menggerakkan tangan dan mulutnya membentuk kalimat yang runtun dan
indah.
“a…a….a…
“ dengan isyarat. Aku bisa menangkap maksudnya. Meski telinganya tak berfungsi
tapi ia tahu kalau aku mencintainya. Ia mendengarku dari nafas cinta yang
dihembuskan angin rindunya dan dari doa-doa yang diurainya setiap waktu.
Aku
tak menemukan murka dari wajahnya. Lima tahun aku meninggalakannya sendiri di
sini. Ingin membuang malu memilikinya. Seorang ibu yang cacat dan miskin. Aku
malu jika ia yang akan berdiri di panggung sekolah saat penyerahan piala
penghargaan atas prestasi akademikku, di tengah kerumunan anak-anak yang ibu
mereka tak tuli dan miskin.
Aku
malu. Aku lari dari rumah berbekal Beasiswa yang kudapat dari Universitas
Negeri di kota. Bertahun-tahun aku bekerja keras melupakannya. Ibuku yang
cacat, tua dan miskin. Tapi tanpa kusadari, Beasiswa yang kudapat tak hanya
karena aku berprestasi tetapi juga karena kami orang miskin. Beasiswa itu pun
ternyata telah diurus lama oleh Ibu ke Kecamatan agar aku bisa sekolah dari SD,
SMP, SMA juga Kuliah. Aku tak menyangka ia bisa melakukan itu semua. Ia yang
selalu kuanggap bodoh, tidak berpendidikan, dungu, cacat dan miskin.
Aku
lah si pendosa yang tujuh neraka pun tak akan mampu menghapus dosa-dosaku. Dosa
yang kutimbun setiap hari mengutuki nasib memiliki ibu yang tak seperti ibu-ibu
kebanyakan.
Sekarang
aku di sini menemukannya lagi. Melihat mata rembulannya yang tak pernah redub.
Ia yang selalu menyapaku dari balik pintu, menatap kepergianku ke sekolah.
Membuatkan aku teh hangat jika aku belajar hingga malam. Memarut ubi lalu
membuat adonan kue yang enak, lezat dan bergizi. Ialah ibuku. Ibuku.
Pernah
dengan kedurhakaanku, aku menepis piring berisi makanan dan air teh kesukaanku
dari tangan ibu, karena tetesan air dari tangannya menetes di buku yang baru
saja kubeli. Ia tak marah, ia hanya mengelusku lalu ke dapur dan melupakan
perkara itu dalam sekejab. Ibuku.
Siang
malam ia bekerja untuk penuhi kebutuhan harianku. Jadi pembuat tepung di
kampung sebelah, jadi pembantu harian di rumah orang-orang berada, ia pun
membuat kue-kue pesanan. Harinya habis hanya untuk bekerja. Lalu membelikanku
pakaian bagus, uang jajan yang sebanyak anak-anak pegawai, buku dan majalah.
Dan aku menikmati itu semua dengan kepongahan di dada. Berjalan angkuh di muka
orang-orang tambah lagi kebanggan atas prestasiku.
Kedurhakaanku
berslide di mata ibu, menancap seperti jarum di nadiku, menggores penyesalan di
hatiku. Seharusnya ia marah. Menyumpahiku jadi Malin Kundang. Tapi tidak. Ia
mengelusku. Menatap bangga padaku. Lagi ia menjentikkan jemarinya dan membuka mulutnya
“a….a…a….”
Ia bilang aku cantik, sangat cantik. Lebih cantik dari si Minda anak orang kaya
di kampung sebelah.
Aku
tersipu malu. Merasa ingat sesuatu aku bergegas ke luar rumah mengambil tas
yang kuletakkan di dekat pintu.
“Ada
hadiah untukmu Bu,”
Kuserahkan
sebuah buku padanya. Buku yang cover depannya adalah lukisan wajahnya. Wajah
ibuku. Ia memeluknya erat, mengelusku lalu tersenyum bangga.
Ia
gerakkan tangannya “Kado Si Pendosa” katanya.
Aku
menatapnya takjub.
“Ibu
sudah pandai baca?”
Ia
mengangguk. Memeluk buku itu lagi.
Aku
mencium keningnya. Keningnya yang telah berkerut. Aku perhatikan ia baik-baik.
Rambutnya sudah putih, alis dan bulu matanya juga putih. Tanpa terasa air
mataku berurai lagi. Ya Allah. Berapa masa tak kulewati bersamanya, menemani
hari-harinya, mengurut tubuh hitamnya ketika ia lelah, membuatkan makanan yang
enak dan menyuapinya, memanjakannya dengan seribu cerita tentang kehidupanku.
Aku sudah kehilangan banyak waktu. Waktu untuk kuisi dengan ibuku tercinta. Ibu
yang terbuang dari si pendosa ini.
“Kenapa
tak pernah pulang dan memberi kabar?” tanyanya dengan wajah sedih.
“Dalam
darah Ara mengalir darah ibu. Ibu yang tak akan pernah berhenti sebelum
berhasil. Kini Ara kembali dan akan mengajak ibu serta, menemani Ara hingga
batas usia.”
*THE
END*
1) Puisi berjudul “Ibu” karya
Yohana Ita Kustiawati dalam antologi puisi Negeri Angsa Putih
Ditulis pada hari kamis, 29
September 2011.