Hati Seuntai Emas
Aku
tak punya pilihan. Semangat untuk terus hiduplah yang menopang diriku untuk
bertahan sejauh ini. Hanya dengan cara ini aku bisa melihat dunia lebih lama
lagi. Dunia yang kadang sepat, yang kulalui dengan terbata-bata, dunia yang berliku
adanya.
Berkali-kali
tanganku mengais. Sia-sia. Penyambung nyawaku itu tak jua kutemukan dari satu
tong ke tong lainnya. Matahari sudah pun
tepat berada di atas kepala dan menyengat sangat. Sudah pula kutelusuri warung-warung
nasi. Hasilnya masih nihil. Kurasa sindrom melarat membuat orang-orang semakin
berhati-hati membuang segala sesuatu.
Entah
mengapa hatiku berpagut pada sesuatu di hujung lorong sana. Suatu tempat
pembuangan yang betul-betul menyedihkan. Tapi, seperti yang telah kukatakan
sebelumnya bahwa aku tak punya pilihan.
Kukais
sisa-sisa makanan dari sana, berharap sesuap nasi menyela dari dalam bungkusan.
Lapar dan haus pun kian menjadi rasanya, membuat tanganku kepayahan menyisir
satu demi satu kantung plastik, kaleng air minum, dan bungkusan-bungkusan
jajanan yang bercampur debu dan dikerubungi lalat, kadang pula tercampur liur
anjing juga tinja kucing.
Satu
miniatur aneh tiba-tiba saja tergenggam padat di jemari mungilku. Kuselamatkan dia
dari tempat berbau kemiskinan ini. Alangkah terkejutnya ketika kudapati di
dalam kotak persegi itu melingkar cantik seuntai liontin emas. Siapa pemiliknya? Tanyaku heran seraya
melirik sana-sini mencari seseorang.
Melihat
kilauannya aku teringat akan peristiwa tiga tahun silam, saat ibu membela
mati-matian cincin penikahannya agar disimpan dan tak usah dijual untuk biaya berobat.
Ia tak mau pemberian bapak untuk pertama dan terakhir itu dibuang percuma. Lagian
hanya itu harta satu-satunya di keluarga kami sebagai bekal masa depanku kelak.
Ibu menghembuskan nafas terakhir dalam kondisi yang sangat menyedihkan, digerogoti
kutil-kutil aneh yang diidapnya belasan tahun. Sayangnya cincin itupun sebulan
kemudian di jual bapak untuk menyunting Mpok Biyah dan mengusirku secara
sepihak dari rumah.
Aku
hengkang dari rumah kediamanku yang telah kutempati bersama ibu dan bapak
selama sebelas tahun. Aku kira nasibku benar-benar akan berubah manis setelah
lepas dari cengkraman bapak dan ocehan Mpok Biyah. Aku salah.
Hidup
terasa ganjil. Seganjil seuntai liontin emas yang kugenggam saat ini. Jika bisa
kukhayal tentu segala yang berkenaan
dengan kepahitan dan kemelaratan hidupku bisa disapu habis dengan bermodalkan
seuntai emas ini saja. Berkecambuklah mimpi-mimpi aneh dalam pikiraku membuat
aku lupa bahwa hari ini aku belum makan apa-apa, hanya minum air sisa saja.
Kuturuti
ke mana kaki hendak melangkah. Terseok membawa barang temuan. Diliputi cemas
tak terbilang. Aku terpaku saat berdiri di sudut kota. Di depanku sebuah
Musholla berdiri tak sempurna akibat digoyang gempa setahun silam. Agaknya bangunan
ini tak cukup mampu bersaing dengan perumahan mewah, wahana rekreasi, mall dan
butik yang berjejer membelakangi Musholla. Hingga ia terlihat kesepian dan
terluka ditinggali jamaah.
Teringat
aku pada pesan terakhir almarhumah ibundaku tersayang. “Jagalah emas dalam
hatimu, jangan biarkan emas dunia meracuninya hingga membuatmu kehilangan
nurani.” Aku mengambil keputusan.
Kepada
orang tua yang sedang menyapu di teras Musholla kuberikan miniatur yang kutemukan,
lengkap dengan kronologi cerita bagaimana aku menemukannya. Pak tua itu
tertegun dan mengangguk. Sesaat kemudian ia mengembalikannya lagi padaku karena
tak berani menyimpan dan menggunakannya untuk membangun Musholla, sebab barang ini bukanlah hartaku jadi tak
terbilang sedekah atau infak. Kembali aku yang tertegun.
“Barang
ini milik Tuhan, apapun yang jadi milik Allah akan kembali pada-Nya jua”
bisikku meyakinkan si pengurus langgar. Dengan berat hati ia menerima emas itu
dan berjanji mempergunakannya untuk membangun kembali Rumah Allah itu.
Saat
akan beranjak pergi ia memanggilku dan memberikan sekotak Pizza. Sedekah dari
seseorang, katanya. Ia bilang lidahnya tak menerima makanan ganjil seperti itu.
Aku tertawa mendengarnya. Ia tersenyum. Aku menikmati saat ini seperti saat
mencicip Pedamaran buatan ibu. Dalam kesengsaraan ini rupanya kutemukan cinta berkilaukan
emas. I believe,
Allah is always by my side.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar