Label

Senin, 05 Mei 2014

Hati Seuntai Emas


Hati Seuntai Emas


Aku tak punya pilihan. Semangat untuk terus hiduplah yang menopang diriku untuk bertahan sejauh ini. Hanya dengan cara ini aku bisa melihat dunia lebih lama lagi. Dunia yang kadang sepat, yang kulalui dengan terbata-bata, dunia yang berliku adanya.
Berkali-kali tanganku mengais. Sia-sia. Penyambung nyawaku itu tak jua kutemukan dari satu tong ke tong lainnya. Matahari  sudah pun tepat berada di atas kepala dan menyengat sangat. Sudah pula kutelusuri warung-warung nasi. Hasilnya masih nihil. Kurasa sindrom melarat membuat orang-orang semakin berhati-hati membuang segala sesuatu.
Entah mengapa hatiku berpagut pada sesuatu di hujung lorong sana. Suatu tempat pembuangan yang betul-betul menyedihkan. Tapi, seperti yang telah kukatakan sebelumnya bahwa aku tak punya pilihan.
Kukais sisa-sisa makanan dari sana, berharap sesuap nasi menyela dari dalam bungkusan. Lapar dan haus pun kian menjadi rasanya, membuat tanganku kepayahan menyisir satu demi satu kantung plastik, kaleng air minum, dan bungkusan-bungkusan jajanan yang bercampur debu dan dikerubungi lalat, kadang pula tercampur liur anjing juga tinja kucing.
Satu miniatur aneh tiba-tiba saja tergenggam padat di jemari mungilku. Kuselamatkan dia dari tempat berbau kemiskinan ini. Alangkah terkejutnya ketika kudapati di dalam kotak persegi itu melingkar cantik seuntai liontin emas. Siapa pemiliknya? Tanyaku heran seraya melirik sana-sini mencari seseorang.
Melihat kilauannya aku teringat akan peristiwa tiga tahun silam, saat ibu membela mati-matian cincin penikahannya agar disimpan dan tak usah dijual untuk biaya berobat. Ia tak mau pemberian bapak untuk pertama dan terakhir itu dibuang percuma. Lagian hanya itu harta satu-satunya di keluarga kami sebagai bekal masa depanku kelak. Ibu menghembuskan nafas terakhir dalam kondisi yang sangat menyedihkan, digerogoti kutil-kutil aneh yang diidapnya belasan tahun. Sayangnya cincin itupun sebulan kemudian di jual bapak untuk menyunting Mpok Biyah dan mengusirku secara sepihak dari rumah.
Aku hengkang dari rumah kediamanku yang telah kutempati bersama ibu dan bapak selama sebelas tahun. Aku kira nasibku benar-benar akan berubah manis setelah lepas dari cengkraman bapak dan ocehan Mpok Biyah. Aku salah.
Hidup terasa ganjil. Seganjil seuntai liontin emas yang kugenggam saat ini. Jika bisa kukhayal tentu  segala yang berkenaan dengan kepahitan dan kemelaratan hidupku bisa disapu habis dengan bermodalkan seuntai emas ini saja. Berkecambuklah mimpi-mimpi aneh dalam pikiraku membuat aku lupa bahwa hari ini aku belum makan apa-apa, hanya minum air sisa saja.
Kuturuti ke mana kaki hendak melangkah. Terseok membawa barang temuan. Diliputi cemas tak terbilang. Aku terpaku saat berdiri di sudut kota. Di depanku sebuah Musholla berdiri tak sempurna akibat digoyang gempa setahun silam. Agaknya bangunan ini tak cukup mampu bersaing dengan perumahan mewah, wahana rekreasi, mall dan butik yang berjejer membelakangi Musholla. Hingga ia terlihat kesepian dan terluka ditinggali jamaah.
Teringat aku pada pesan terakhir almarhumah ibundaku tersayang. “Jagalah emas dalam hatimu, jangan biarkan emas dunia meracuninya hingga membuatmu kehilangan nurani.” Aku mengambil keputusan.
Kepada orang tua yang sedang menyapu di teras Musholla kuberikan miniatur yang kutemukan, lengkap dengan kronologi cerita bagaimana aku menemukannya. Pak tua itu tertegun dan mengangguk. Sesaat kemudian ia mengembalikannya lagi padaku karena tak berani menyimpan dan menggunakannya untuk membangun Musholla,  sebab barang ini bukanlah hartaku jadi tak terbilang sedekah atau infak. Kembali aku yang tertegun.
“Barang ini milik Tuhan, apapun yang jadi milik Allah akan kembali pada-Nya jua” bisikku meyakinkan si pengurus langgar. Dengan berat hati ia menerima emas itu dan berjanji mempergunakannya untuk membangun kembali Rumah Allah itu.
Saat akan beranjak pergi ia memanggilku dan memberikan sekotak Pizza. Sedekah dari seseorang, katanya. Ia bilang lidahnya tak menerima makanan ganjil seperti itu. Aku tertawa mendengarnya. Ia tersenyum. Aku menikmati saat ini seperti saat mencicip Pedamaran buatan ibu. Dalam kesengsaraan ini rupanya kutemukan cinta berkilaukan emas. I believe, Allah is always by my side.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar