Label

Senin, 03 Oktober 2011

KADO SI PENDOSA


KADO SI PENDOSA
Oleh: ADE BATARI

Aku kembali lagi ke sini. Sebuah tempat yang amat kurindukan hingga detik ini, detik ketika kakiku melangkah di ambang pintu. Sebuah rumah tanpa cat, berdinding papan tanpa bunga di depannya, tanpa teras apalagi garasi. Barangkali juga tak layak dikatakan rumah karena kondisinya sangat memperihatikan, tepatnya disebut gubuk. Ya, sebuah gubuk yang sudah lama sekali kutinggalakan.
Lima tahun silam dengan menyandang tas sekolah, berbekal roti dan uang dua puluh ribu, aku pergi tanpa menoleh ke rumah ini. Dan kini aku kembali ke sini. Berdiri tepat di depannya.
Kondisi rumah lebih kurang seperti dulu, tak ada perubahan yang signifikan. Malah tampak semakin menyedihkan. Di depannya ditumbuhi ilalang. Pohon mangga yang dulu kekar kini sudah tua, daun-daunnya rontok memenuhi halaman rumah.
Puas memandang ke sekitar, aku mencoba membuka pintu rumah. Ada rasa gemetar, rindu, takut, sedih, senang, dan segala rasa itu aku rasakan dalam satu waktu. Perlahan aku buka pintu yang tak dikunci itu. Pintu yang bagian bawahnya di makan rayap dan ngengat.
Gelap. Yang terlihat hanyalah kegelapan. Aku masih ingat di mana posisi jendela. Aku buka jendela yang ada di samping kanannya. Cahaya perlahan masuk memberi penerangan menembus kegelapan.
Tak terasa airmataku jatuh dari pelupuknya. Inilah rumahku, tempat aku lahir dan dibesarkan. Rumah yang dipenuhi lemari-lemari tua, kursi reot, almanak usang, pakaian kotor, TV national yang sudah tak terpakai lagi, dinding-dinding yang penuh dengan tempelan kertas, koran dan gambar, atap yang dipenuhi sawang, ya semuanya masih sama seperti terakhir aku tinggalkan. Tak pula ada siapa-siapa di ruangan depan.
Aku menuju dapur, tak jua kutemukan apa yang kucari. Kutelusuri kamar, kamar 2 x 3 meter itu yang selalu redup karena hanya disinari dari balik kusen jendela, bertumpuk pakaian usang di sisi kanan dan kirinya, kelambu di atas dipan, bantal tanpa sarung dan selimut yang terlipat.
Aku merasa cemas. Hanya ini tujuan kepulanganku. Tapi yang kucari tak jua kutemukan. Aku melangkah menuju halaman belakang. Juga tak ada siapa-siapa. Hanya ada kamar mandi yang tak layak pakai dan ditumbuhi lumut.
Kembali kususuri ruang depan. Tempat yang selalu jadi tempat favoritku. Di sini setiap malam aku belajar, mengulang pelajaran, membuat PR, juga membaca berbagai macam buku yang kupinjam dari pustaka sekolah.
Sejam berlalu, seputar tanyaku belum juga ada jawabnya. Baru saja hendak melangkah ke luar, suara tapak orang berjalan mengusik perhatianku. Wanita itu masuk, bajunya tampak dipenuhi tepung. Ia kaget ketika melihatku. Lama kami saling bertatapan. Aku berhadapan dengannya. Ia menatap padaku dengan bola mata semerah saga, seperti matahari pagi.
Entah siapa yang memulai, tapi kami saling berpelukan, menangis dan mengurai rindu masing-masing. Lama. Aku memeluknya begitu erat, seperti saat aku kecil dulu yang sering jika aku takut sesuatu, aku akan memeluknya lalu merengek.
“Maafin Ara Bu.” Ia mengangguk dan tersenyum.
“Ibu mendengar Ara?” Ia mengangguk lagi.
“Ibu. Sebentar lagi Ara wisuda Bu, gelar S. Si bakal tersemat di nama Ara, anakmu Bu. Ara Ningtias S. Si. Oh, ya sebulan yang lalu buku pertama Ara terbit. Tapi maafin Ara karena tak sempat mengajak Ibu saat launching buku perdana itu. Bu, semua isinya tentangmu.” Aku menangis dan kembali memeluknya.
Aku memintanya duduk, sembari memegang tangannya yang kasar.
“Ibuku sungai yang mengalirkan rindu. Sampai muara galau resah di dada. Hingga lautan peredam perih pada dermaga rekah luka. Ibu juga cermin senja di wajahku. Yang menawar gundah dalam gelap. Ibu, biji embun yang tumbuhkan mentari di relung hati. Walau kadang berakhir jadi tumpahan sepi.” (1)
Ibu beranjak, ia menggerakkan tangan dan mulutnya membentuk kalimat yang runtun dan indah.
“a…a….a… “ dengan isyarat. Aku bisa menangkap maksudnya. Meski telinganya tak berfungsi tapi ia tahu kalau aku mencintainya. Ia mendengarku dari nafas cinta yang dihembuskan angin rindunya dan dari doa-doa yang diurainya setiap waktu.
Aku tak menemukan murka dari wajahnya. Lima tahun aku meninggalakannya sendiri di sini. Ingin membuang malu memilikinya. Seorang ibu yang cacat dan miskin. Aku malu jika ia yang akan berdiri di panggung sekolah saat penyerahan piala penghargaan atas prestasi akademikku, di tengah kerumunan anak-anak yang ibu mereka tak tuli dan miskin.
Aku malu. Aku lari dari rumah berbekal Beasiswa yang kudapat dari Universitas Negeri di kota. Bertahun-tahun aku bekerja keras melupakannya. Ibuku yang cacat, tua dan miskin. Tapi tanpa kusadari, Beasiswa yang kudapat tak hanya karena aku berprestasi tetapi juga karena kami orang miskin. Beasiswa itu pun ternyata telah diurus lama oleh Ibu ke Kecamatan agar aku bisa sekolah dari SD, SMP, SMA juga Kuliah. Aku tak menyangka ia bisa melakukan itu semua. Ia yang selalu kuanggap bodoh, tidak berpendidikan, dungu, cacat dan miskin.
Aku lah si pendosa yang tujuh neraka pun tak akan mampu menghapus dosa-dosaku. Dosa yang kutimbun setiap hari mengutuki nasib memiliki ibu yang tak seperti ibu-ibu kebanyakan.
Sekarang aku di sini menemukannya lagi. Melihat mata rembulannya yang tak pernah redub. Ia yang selalu menyapaku dari balik pintu, menatap kepergianku ke sekolah. Membuatkan aku teh hangat jika aku belajar hingga malam. Memarut ubi lalu membuat adonan kue yang enak, lezat dan bergizi. Ialah ibuku. Ibuku.
Pernah dengan kedurhakaanku, aku menepis piring berisi makanan dan air teh kesukaanku dari tangan ibu, karena tetesan air dari tangannya menetes di buku yang baru saja kubeli. Ia tak marah, ia hanya mengelusku lalu ke dapur dan melupakan perkara itu dalam sekejab. Ibuku.
Siang malam ia bekerja untuk penuhi kebutuhan harianku. Jadi pembuat tepung di kampung sebelah, jadi pembantu harian di rumah orang-orang berada, ia pun membuat kue-kue pesanan. Harinya habis hanya untuk bekerja. Lalu membelikanku pakaian bagus, uang jajan yang sebanyak anak-anak pegawai, buku dan majalah. Dan aku menikmati itu semua dengan kepongahan di dada. Berjalan angkuh di muka orang-orang tambah lagi kebanggan atas prestasiku.
Kedurhakaanku berslide di mata ibu, menancap seperti jarum di nadiku, menggores penyesalan di hatiku. Seharusnya ia marah. Menyumpahiku jadi Malin Kundang. Tapi tidak. Ia mengelusku. Menatap bangga padaku. Lagi ia menjentikkan jemarinya dan membuka mulutnya
“a….a…a….” Ia bilang aku cantik, sangat cantik. Lebih cantik dari si Minda anak orang kaya di kampung sebelah.
Aku tersipu malu. Merasa ingat sesuatu aku bergegas ke luar rumah mengambil tas yang kuletakkan di dekat pintu.
“Ada hadiah untukmu Bu,”
Kuserahkan sebuah buku padanya. Buku yang cover depannya adalah lukisan wajahnya. Wajah ibuku. Ia memeluknya erat, mengelusku lalu tersenyum bangga.
Ia gerakkan tangannya “Kado Si Pendosa” katanya.
Aku menatapnya takjub.
“Ibu sudah pandai baca?”
Ia mengangguk. Memeluk buku itu lagi.
Aku mencium keningnya. Keningnya yang telah berkerut. Aku perhatikan ia baik-baik. Rambutnya sudah putih, alis dan bulu matanya juga putih. Tanpa terasa air mataku berurai lagi. Ya Allah. Berapa masa tak kulewati bersamanya, menemani hari-harinya, mengurut tubuh hitamnya ketika ia lelah, membuatkan makanan yang enak dan menyuapinya, memanjakannya dengan seribu cerita tentang kehidupanku. Aku sudah kehilangan banyak waktu. Waktu untuk kuisi dengan ibuku tercinta. Ibu yang terbuang dari si pendosa ini.
“Kenapa tak pernah pulang dan memberi kabar?” tanyanya dengan wajah sedih.
“Dalam darah Ara mengalir darah ibu. Ibu yang tak akan pernah berhenti sebelum berhasil. Kini Ara kembali dan akan mengajak ibu serta, menemani Ara hingga batas usia.”


*THE END*

1) Puisi berjudul “Ibu” karya Yohana Ita Kustiawati dalam antologi puisi Negeri Angsa Putih

Ditulis pada hari kamis, 29 September 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar